BAHASAN KEEMPAT
JAWABAN DALIL-DALIL TERPENTING MEREKA
Dalil Pertama
Firman Alloh Ta’ala :
{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} [المائدة: 44]
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( QS. Al Maidah : 44 )
Jika dikatakan : pemerintah yang memberlakukan selain yang Alloh turunkan adalah kafir dengan nash ayat ini .
Jawab : kufur dalam ayat ini adalah kufur ashghar bukan akbar , buktinya adalah tiga hal berikut :
1. Ijma ahli sunnah bahwa ayat ini bukan dimaknai sesuai dhahirnya , telah lalu ( di halaman 24 ).
2. Tafsir ibnu Abbas radhiyallohu anhuma, telah lalu ( halaman 42 ).
3. Tafsir sebagian tabiien[1] ( = murid-murid ibnu Abbas radhiyallohu anhu wa rahimahum ), dan telah lalu ( halaman 41 ) , dan tidak diketahui adanya yang menyelisihi mereka di zaman itu.
Lalu jika dikatakan : hukumasal kata kufur saat dimutlakkan adalah kufur akbar .
Maka dijawab : pembawaan kaidah ini tidak ada gunanya , sebab telah datang penjelasan maksud kufur dalam ayat itu yaitu ; kufur ashghar, dan itu adalah tafsir Ibnu Abbas dan sebagian muridnya .
Lalu jika dikatakan : ibnu Taimiyah telah melakukan penelitian lafadz ( al kufr ) yang mendapat takrif dengan Alif Lam, maka beliau mendapatkan dipastikan bahwa ia kufur akbar, sehingga beliau berkata : “ kufur yang ditakrif difahami kepada kufur yang makruf yaitu yang mngeluarkan dari agama “ ( Syarh Umdah , bagian Shalat hal. 82 ).
Maka dijawab : penelitian beliau adalah lafdz ini dalam bentuk mashdar ( alkufru ) , sementara dalam ayat itu berbentuk Fa’il ( alkafir ), dan keduanya berbeda ; sebab mashdar menunjukkan perbuatan saja, adapun isim fa’il maka menunjukkan perbuatan dan yang melakukan perbuatan itu ( Fa’il = pelaku ) .
Karena itulah Ibnu Taimiyah sendiri berpendapat bahwa kufur yang dimaksud dalam ayat itu adalah kufur ashghar, dan beliau mengatakan bahwa itu adalah pendapat sebagian imam sunnah , bahkan keumuman salaf, dan telah dijelaskan ucapan beliau ( hal. 44 ).
Berkata ibnu Utsaimin rahimahulloh : “ termasuk keburukan dalam pemahaman adalah ucapan orang yang menisbatkan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa belaiu berkata ( jika dimutlakkan kufur maka yang dimaksud hanyalah kufur akbar ), dengan berdalil ucapan ini mereka mengkafirkan dengan ayat : “ maka merekalah orang-orang yang kafir “ ( QS. Al Maidah 44 ) ! padahal di ayat ini tidak ada lafadz “ alkufru “ !, adapun ucapan yang benar dari Syaikhul Islam maka adalah dalam pembedaan lafadz “ alkufru “ yang disertai alif lam dengan lafadz “ kufrun “ nakirah . Adapun Washf, maka boleh kita berkata ( هؤلاء كافرون ) atau ( هؤلاء الكافرون ) , untuk menunjukkan sifat yang mereka miliki yaitu kufur yang tidak mengeluarkan dari agama, maka adalah berbeda antara disifati dengan perbuatan dengan disifati dengan pelaku “ ( Fitnah Takfir hal. 25, footnote 1 ) .
Dalil kedua
Firman Alloh Ta’ala :
{فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا} [النساء: 65]
Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.( QS. Nisa 65 ).
Jika dikatakan : sungguh Alloh menafikan iman dari orang yang tidak berhukum dengan syariah, dan ini menunjukkan kafir.
Jawab : bahwa yang dinafikan adalah kesempurnaan iman bukan pokok iman ( = bukan keseluruhan ) , maka ayat ini menghukumi kekurangan iman bukan kehilangan iman.
Penjelasannya : penafian iman terkadang disebut dalam syariah dan dimaksud dengannya adalah menafikan kesempuraan bukan menafikan ashl ( pokok ) iman.
Di antara contohnya : sabda beliau shollallohu alaihi wa sallam : “ tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri “ ( HR. Bukhary 13, Muslim 168 ). Dan sabda beliau shollallohu alaihi wa sallam : “ Demi Alloh tidak beriman, demi Alloh tidak beriman, demi Alloh tidak beriman . Ditanyakan : siapa Ya Rasulalloh ? beliau bersabda : seorang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya “ ( HR. Bukhary 6016 ).
· Saya berkata : jika engkau telah mengetahui bahwa menafikan iman ada dalam syariat kita dengan maksud menafikan kesempurnaannya, dan engkau mengetahui bahwa hal ini mengharuskan kita berhati-hati dalam mengkafirkan dengan ayat ini ; maka ketahuilah bahwa telah ada bukti yang menunjukkan bahwa iman yang dinafikan dalam ayat ini bukan lagi pokok iman namun telah bergeser kepada kesempurnaannya, diantara yang menyebabkan perubahan makna ini adalah dua hal :
Penyebab pertama : bahwa penafian iman dalam ayat ini terbagi dalam tiga golongan :
1. Yang tidak berhukum kepada Rasul shollalohu alaihi wa sallam
2. Yang mendapi ganjalan hati atas hukum Rasul shollallohu alaihi wa sallam.
3. Yang tidak menyerahkan diri kepada hukum Rasul shollallohu alaihi wa sallam.
· Saya berkata : barangsiapa menjadikan yang dinafikan adalah ashlul iman ( = seluruhnya ) maka harus mengkafirkan mereka bertiga seluruhnya, padahal ada dalil yang menunjukkan tidak kafirnya golongan kedua dan ketiga, di antaranya adalah dua dalil yang jelas :
Adapun yang pertama : apa yang diceritakan Anas bin Malik radhiyallohu anhu, saat dibuka kota Makkah, dibagi ghanimah kepada Quraisy, maka kaum Anshar berkata : sungguh ini sangat aneh ! pedang kita masih mengucurkan darah mereka, namun ghanimah kita diberikan kepada mereka ! maka berita itu sampai kepada Rasululloh shollallohu alaihi wa sallam sehingga beliau mengumpulkan mereka, lalu beliau bertanya : “ berita apakah yang telah sampai padaku ? “, mereka menjawab : “ ( benar , memang ) seperti yang samapi kepada Anda” , mereka tidak berdusta. Maka beliau bersabda : “ tidakkah kalian ridha saat manusia kembali ke rumah-rumah mereka dengan harta dunia, kalian kembali ke rumah kalian dengan Rasul Alloh ? jika manusia menempuh satu lembah atau bukit dan Anshar menempuh lembah atau bukit yang lain, tentu aku akan menempuh lembah atau bukit yang dipilih Anshar “ ( HR. Bukhary 3778, Muslim 2437 ). Mereka lalu menjawab : “ Wahai Rasul Alloh, kami telah ridha “ ( HR. Bukhary 4331, Muslim 2438 ). Maka semoga Alloh meridhai Anshar dan seluruh shahabat Naby shollallohu alaihi wa sallam, betapa baik dan benarnya iman dan kecintaan mereka kepada Rasululloh shollallohu alihi wa sallam.
Adapun yang kedua : adalah hadits Aisyah radhiyallohu anha bahwa istri – istri Naby shollallohu aliahi wa sallam mendatangi beliau dan membujuk agar beliau adil pada Binti Abi Quhafah ( = Aisyah radhiyallohu anha ) ( HR. Bukhary 2581, Muslim 6240 ) … semoga Alloh meridhai para istri Naby shollallohu alaihi wa sallam .
· Saya berkata : jika yang dinafikan pada golongan kedua dan ketiga adalah kamal ( kesempurnaan ) iman, maka demikianlah pula seharusnya pada golongan pertama, jika golongan kedua dan ketiga tidak kafir maka golongan pertama pun demikian, sama saja, karena ancaman yang ada pada mereka sama .
Apalagi jika engkau bandingkan hal ini dengan ucapan Ibnu Taimiyah rahimahulloh : “ ayat ini termasuk dalil yang digunakan Khawarij untuk mengkafirkan pemerintah yang tidak berhukum dengan apa yang Alloh turunkan “ ( Minhajus Sunnah 5/131 ), maka akan bertambah jelas.
Penyebab kedua : dan ini agak rumit, bahwa ayat ini turun pada seorang Anshary Badry, sedangkan ahli badr adalah orang-orang yang terjaga dari kufur akbar, yaitu saat terjadi pertikaian antara Zubair dengan orang tersebut, maka Naby shollallohu alaihi wa sallam menetapkan keputusan yang membuat marah orang Anshar itu, lalu dia berkata : apakah karena ia anak bibimu ?! ( HR. Bukhary 2362, 2708, 4585, Muslim 6065, Abu Dawud 3637, Tirmidzy 1363, Nasa’iy 5431 ) .
Maka lihatlah, bagaimana seorang badry ( ahli badr ) itu marah, radhiyallohu anhu dan tidak menerima dengan penuh dengan keputusan naby shollallohu alaihi wa sallam dalam perkara itu ?!
Berkata Ibnu Baz rahimahulloh menjelaskan firman Alloh ini ( QS. Annisa 65 ) : “ barangsiapa mengira bahwa boleh berhukum dengan selainnya ( yakni syariat ) atau berkata : “ manusia boleh berhukum kepada nenek moyang “ atau “ kepada leluhur “ atau “ kepada undang-undang yang dibuat manusia “, dari barat atau pun timur, barangsiapa mengira hal ini boleh maka dinafikan iman darinya dan ia menjadi kafir dengan kufur akbar…adapun yang berpandangan bahwa yang wajib adalah berhukum kepada syariat Alloh, dan bahwa tidak boleh berhukum kepada undang-undang atau selainnya yang menyelisihi syariat Alloh, namun ia terkadang memutuskan dengan selain yang Alloh turunkan karena hawa nafsu berkaitan pihak terdakwa, atau sogokan atau karena urusan politik atau yang semisalnya, dan ia mengetahui bahwa dirinya dzalim dan salah dan menyelisihi syariat ; maka orang ini kurang iman dan telah dinafikan darinya kesempurnaan iman dan ia menjadi kafir dengan kufur ashghar, dzalim dengan dzalim ashghar, fasiq dengan fasiq ashghar “ ( Al Fatawa 6/249 ) .
Bahkan berkata ibnu Taimiyah rahimahulloh : “ setiap yang dinafikan Alloh dan Rasul-Nya dari nama-nama perkara yang wajib seperti nama iman dan islam dan dien dan shalat dan shiyam dan thaharah dan haji dan selainnya, maka sesungguhnya karena meninggalkan suatu kewajiban dari nama itu , di antaranya firman Alloh ta’ala :
{فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا} [النساء: 65]
Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.( QS. Nisa 65 ).
Maka ketika iman dinafikan samapi didapatkan tujuan, ini menunjukkan bahwa tujuan ini adalah fadhu atas manusia, barangsiapa meninggalkannya maka ia termasuk yang diancam yang belum memiliki iman yang wajib yang dijanjikan akan masuk surga tanpa adzab “ ( Al Fatawa 7/37 ) .
Beliau juga berkata : “maka kapan saja ada penafian amal dalam kitab dan sunnah adalah karena hilangnya sebagian kewajibannya, seperti firman Alloh Ta’ala : ( Artinya ) : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.( QS. Nisa 65 ).
Jika dikatakan ; apakah dalil bahwa Alloh menjaga keimanan ahli badar dari terjatuh dalam kekafiran ?
Maka jawabnya : Alloh telah wajibkan bagi mereka surga, sebagaimana dalam kisah Hatib radhiyallohu anhu saat Naby shollalohu alaihi wa sallam bersabda : “ Alloh telah melihat mereka dan berfirman : berbuatlah sekehendak kalian karena Aku telah wajibkan bagi kalian surga ‘ ( HR.AlBukhary 6939 ) .
· Saya berkata : maka barangsiapa tidak berpendapat dengan kekhususan mereka serta penjagaan Alloh terhadap mereka dari terjatuh pada perkara yang mengeluarkan dari Islam, maka telah menentangkan hadits itu dengan firman Alloh Ta’ala :
{إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ } [النساء: 48]
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya ( Qs Annisa 48 & 116 )
Sebab kufur dan syirik akbar itu tidak diampuni, padahal Alloh telah wajibkan surga bagi ahli badar.
Jika dikatakan : bukankah bisa jadi seorang dari ahli badar terjatuh dalam kekufuran namun kemudian mendapat taufik untuk bertaubat dari kekufuran itu, sehingga lalu meninggal di atas tauhid, maka tidak ada pertentangan antar dalil ?
Dijawab dari dua sisi :
1. Alloh telah ampuni ahli badar, dan ampunan itu tidak dikaitkan dengan taubat, dan wajib bagi kita memahami keutamaan ini sesuai kemutlakannya dan tidak mengkaitkan dengan sesuatu dalam hal yang Alloh mutlakkan .
2. Jika boleh dikatakan dengan kemungkinan itu tentu keutamaan akan hilang ! dan keistimewaan mereka menyaksikan perang badar menjadi tiada arti ! sebab para ulama telah bersepakat bahwa semua dosa – sampai kekufuran – diampuni dengan taubat. Apabila dosa ahli badar diampuni jika bertaubat, maka tidak ada keutamaan yang mengistimewakan mereka dari selainnya .
Saya akan tutup bahasan ini dengan ucapan ibnu taimiyah rahimahulloh : ‘ ucapan-Nya kepada ahli badar dan semisalnya : “ berbuatlah sekehendak kalian karena Aku telah ampuni kalian “ : jika dibawa kepada dosa-dosa kecil, atau ampunan dengan taubat, maka tidak beda mereka dengan selainnya. Maka sebagaimana hadits qudsi ini tidak bisa dibawa dalam masalah kufur yang diketahui bahwa kufur tidak diampuni kecuali dengan taubat, demikian juga tidak bisa dibawa kepada dosa-dosa kecil yang dihapus dengan menjauhi dosa – dosa besar ( Al Fatawa 7/490 ) .
Jika dikatakan : ayat ini menafikan iman dari orang yang tidak berhukum kepada syariat dan tidak mesti hukum ini dapat diterapkan langsung kepada shahabat itu karena memvonis seseorang memiliki kriteria berupa syarat dan penghalang .
Jawab : shahabat ini memiliki keistimewaan atas selainnya sebab nash ( hadits – pent ) datang kepadanya, dan tidak bisa menafsirkan ayat tanpa melibatkannya. Walaupun al ibrah bi umumi lafdzi la bi khususi sabab ( hukum berlaku secara umum tidak khusus pada sebabnya saja ) , namun tidak ada ikhtilaf bahwa orang yang dalil turun padanya pasti termasuk dalam hukum itu, bahkan lebih berhak.
Berkata Ibnu Taimiyah rahimahulloh : ayat yang memiliki sebab tertentu, jika berupa perintah atau larangan, maka mencakup orang tersebut dan selainnya yang sesuai dengannya, jika berupa khabar pujian atau celaan, maka mencakup orang itu dan selainnya yang seperti dia “ ( Al Fatawa 13/339 ) .
Berkata Ibnul Qayyim rahimahulloh : “ maka tempat sebab tidak dapat keluar dari hukum, dan berkaitan dengan selainnya “ ( Zaadul Ma’ad 5/317 ) .
Bahkan Az Zarkasy rahimahulloh menukilkan bahwa sebagian ulama menghikayatkan ijma atas perkara itu : “ maka tempat sebab tidak bisa dikeluarkan dengan ijtihad secara ijma sebagaimana diceritaklan Al Qadhy Abu Bakar dalam Mukhtashar At Taqrib ; sebab masuknya sebab adalah qath’iy “ ( Al Burhan 1/117 ) .
Dalil ketiga
Firman Alloh Ta’ala :
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا} [النساء: 60]
Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut[312], Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. ( QS . An Nisa 60 ) .
Jika dikatakan ; sungguh orang yang berhukum kepada selain syariat telah kafir karena alloh telah menghukuminya dengan kemunafikan .
Jawab : ada dua hal :
Pertama : benar, bahwa ayat ini datang tentang munafikin, tetapi maknanya dapat difahami kepada dua sisi :
1. Bahwa iman mereka menjadi anggapan ( = yaitu menjadi munafikin ), karena mereka menginginkan berhukum kepada thaghut, ini j=menjadi pegangan mereka yang menyelisihi.
2. Bahwa termasuk sifat ahli iman yang dusta ( munafikin ) adalah mereka ingin berhukum kepada thaghut, dan persamaan mukmin dengan munafik dalam satu sifat dari sifat mereka – seperti dusta – tidak menyebabkan kafir, maka atas dasar ini ; maka siapa yang berhukum kepada selain yang Alloh turunkan berarti telah menyerupai kaum munafikin dalam satu sifat dari sifat mereka, dan ini tidak menunjukkan kafir kecuali ada dalil yang lain.
· Saya berkata : dan jika ada kemungkinan kafir dan tidak kafir dalam satu perkara ; maka tidak dikafirkan, sebab pengkafiran tidak bisa didirikan dia atas dasar kemungkinan, namun harus dibangun di atas keyakinan, sehingga harus berhati-hati padanya, terlebih lagi, tidak ada dalil bahwa mereka dihukumi nifaq hanya karena mereka berhukum kepada selain Alloh.
Kedua : bahwa keinginan mereka bukan keinginan yang mutlak, tetapi keinginan khusus yang mengandung hal yang menafikan kufur kepada thaghut. Dan barangsiapa yang tidak meyakini wajibnya kafir kepada thaghut maka tidak ragu lagi bahwa ia kafir dengan kufur akbar.
Berkata Thabary rahimahulloh : ( يريدون أن يتحاكموا ) dalam perselisihan mereka, ( إلى الطاغوت ) , yakni : kepada siapa yang mereka agungkan dan keluar dari ucapannya hukum dan mereka ridhai hukumnya dari selain hukum Alloh. ( وقد أمروا أن يكفروا به ), beliau berkata : padahal Alloh telah memerintahkan mereka agar mendustakan apa yang didatangkan oleh thaghut yang mereka berhukum kepadanya lalu mereka meninggalkan perintah Alloh dan mengikuti perintah syaithan “ ( Tafsir 5/96 ) .
Dalil keempat
Firman Alloh ta’ala :
{وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ} [الأنعام: 121]
Artinya : dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik ( QS. An’am : 121 )
Jika dikatakan : sungguh orang yang mentaati selain Alloh pada apa yang menyelisihi perintah Alloh maka telah berbuat syirik .
Jawab ; ada dua sisi :
1. Dzahir ayat seakan menunjukkan bahwa setiap taat adalah syirik, ini bukan yang dimaksud, bahkan tidak ada seorang pun berpendapat demikian, maka :
2. Taat yang dimaksud – di sini – adalah taat dalam penghalalan dan pengharaman ; yaknijika mengikuti mereka dengan meyakini kehalalan yang haram dan keharaman yang halal, berkata Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan rahimahumulloh : “ dan perhatikan firman Alloh :
)وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ} [الأنعام: 121]
Artinya : Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik ( QS. An’am : 121 ) ; bagaimana Alloh hukumi atas orang yang mentaati wali-wali syaithan dalam penghalalan apa yang Alloh haramkan maka ia musyrik “ ( Uyun Rasa’il 1/251 ).
Dalil kelima
Firman Alloh Ta’ala :
{أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } [الشورى: 21]
Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ( Qs. Syura 21 ).
Maka jika dikatakan : pemerintah yang berhukum dengan selain yang Alloh turunkan adalang sekutu Alloh dalam hukum-Nya maka dia kafir .
Jawab : ayat ini tidak menunjukkan kafir kecuali pelaku tabdiel, sebab ayat ini mengkafirkan orang yang mengumpulkan dua sifat :
1. Tasyrie’ ( pensyariatan )( شَرَعُوا لَهُمْ )
2. Menisbatkan kepada agama ( مِنَ الدِّينِ )
· Saya katakan : inilah tabdiel yang telah dijelaskan bahwa ia kekafiran dengan ijma ( halaman 20 ).
Dalil Keenam
Firman Alloh Ta’ala :
﴿ ولا يشرك في حكمه أحدا ﴾ [ الكهف ٢٦ ]
Artinya : dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan ( QS. Al Kahfi : 26 )
Maka jika dikatakan : pemerintah yang berhukumdengan selain hukum Alloh telah menjadikan dirinya sebagai sekutu bagi Alloh dalam hukumnya maka ia kafir .
Maka jawabannya adalah dari dua sisi :
1. Tidak dapat diterima jika dikatakan bahwa pemerintah yang berhukum dengan selain hukum Alloh adalah sekutu bagi Alloh dalam setiap keadaan ; sebab jika ia menisbatkan hukum yang ia buat kepada agama ( Tabdiel ), atau meyakini bahwa boleh hukumnya memutuskan dengan selain hukum Alloh ( istihlal ) : maka ia adalah sekutu dalam hukum-Nya, adapun jika tidak demikian maka tidak masuk dalam ayat ini .
2. Bahwa siapa yang menyelisihi kebenaran dalam hal ini dan mengambil ayat ini hanya dari keumumannya harus mengkafirkan setiap bentuk berhukum dengan selain hukum Alloh dengan alasan persekutuan dalam hukum-Nya, padahal ahlu sunnah telah berijma atas ketidak kafiran ja’ir ( yang dzalim ) ( lihat hal. 21 ), dan ijma ini cukup untuk membantah faham ini .
Dalil Ketujuh
Firman Alloh :
﴿ إن الحكم إلا لله ﴾ [ الأنعام ٥٧ ، يوسف ٤۰ ، ٦٧ ]
Artinya : keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah ( QS. An’am 57, Yusuf 40 , 67 ) .
Jika dikatakan : barangsiapa yang membuat hukum sendiri berarti telah menyaingi Alloh dalam satu perkara khusus bagi-Nya, maka dia kafir .
Jawaban hal ini dari tiga sisi :
1. Tidak dapat diterima pernyataan bahwa pemerintah yang berhukum dengan selain yang Alloh turunkan berarti menyaingi Alloh dalam hukum dengan sekedar perbuatannya tanpa ia mengklaim bahwa dirinya berhak akan hal itu.
2. Yang menyelisihi kebenaran dalam hal ini seharusnya juga mengkafirkan pemimpin dzalim yang ahli sunnah telah berijma akan ketidakkafirannya ( hal 21 ).
3. Yang menyelisihi dalam hal ini seharusnya – juga – mengkafirkan tukang gambar yang ahli sunnah telah berijma akan ketidakkafirannya ( hal 29 ) .
Dalil kedelapan
Firman Alloh :
﴿ اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أرباباً من دون الله ﴾ [ التوبة ۳١ ]
Artinya : mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah ( QS. Taubah 31 ).
Jika dikatakan : sesungguhnya ahli kitab ketika mentaati ulama mereka dan rahib mereka dalam hukum mereka yang bukan apa yang Alloh turunkan maka Alloh sifati mereka bahwa mereka menjadikan tokoh itu sebagai tuhan-tuhan selain Alloh : maka perbuatan ini adalah syirik .
Jawab : taat kepada ulama dan rahib tidak keluar dari dua keadaan :
1.ketaatan mereka dalam meyakini kehalalan apa yang Alloh haramkan dan keharaman apa yang Alloh halalkan , dan ini adalah kekufuran yang mengeluarkan dari agama tanpa khilaf .
2. ketaatan mereka dalam bermaksiat kepada Alloh tanpa meyakini kehalalan apa yang Alloh haramkan atau keharaman apa yang Alloh halalkan ; maka ini tentu bukanlah kekufuran ; sebab tidak ada dalil mengkafirkan dengan sebab ini, juga hal ini berkonsekuensi harus mengkafirkan pelaku dosa yang mentaati hawa nafsu mereka atau siapa yang mengajak mereka dalam maksiat, dan berimplikasi harus mengkafirkan seorang yang Ahli Sunnah telah bersepakat akan ketidakkafirannya ; seperti orang yang mentaati istri atau anak dalam maksiat .
Berkata Ibnu Taimiyah rahimahulloh : “ dan mereka yang menjadikan rahib dan ulama mereka sebagi tuhan-tuhan yang mereka taati dalam menghalalkan apa yang Alloh haramkan dan mengharamkan apa yang Alloh halalkan dapat dibagi kepada dua sisi :
Yang pertama : mengetahui bahwa mereka melakukan tabdiel terhadap agama Alloh lalu mereka mengikuti atas dasar tabdiel ; sehingga mereka meyakini kehalalan apa yang Alloh haramkan dan keharaman apa yang Alloh halalkan karena mengikuti pemimpin mereka padahal mereka mengetahui bahwa hal itu menyelisihi agama para Rasul ; maka ini kekufuran…..
Yang kedua : keyakinan dan iman mereka tentang keharaman yang halal dan kehalalan yang haram[2] tetap / tidak berubah, namun mereka mentaatinya dalam maksiat sebagaimana dilakukan oleh pelaku maksiat yang masih meyakini itu sebagi maksiat ; maka mereka mendapat hukum yang semisal dengan pelaku dosa lainnya “ ( Al fatawa 7/70 ).
Dalil kesembilan
Firman Alloh Ta’ala :
﴿ وما اختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى الله ﴾ [ الشورى ١۰ ]
Artinya : tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah ( QS. Asyuraa 10 )
Jika dikatakan : sesungguhnya seorang yang merujuk hukum kepada selain Alloh maka telah meyelisihi apa yang Alloh Azza Wa Jalla perintahkan .
Maka dijawab : ayat ini menunjukkan wajibnya berhukum kepada Syariah ; ini tidak diperselisihkan, sebagimana tidak ada ikhtilaf bahwa mereka yang memutuskan dengan selainyang Alloh turunkan adalah para pendosa yang terjatuh dalam dosa besar ; namun dalam ayat ini tidak ada dalil tentang pengkafiran .
Dalil kesepuluh
Firman Alloh Ta’ala :
﴿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾ [ المائدة ٥۰ ]
Artinya : Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? ( QS. Al Maidah 50 )
Jika dikatakan : sesungguhnya Alloh mensifati hukum dengan selain syariah sebagai hukum jahiliyah ; ini berarti kufur .
Maka dijawab : penisbatan sesuatu kepada jahiliyah atau pensifatannya sebagai bagian dari perbuatan jahiliyah ; tidak otomatis berarti kufur .
Dalilnya adalah Rasul shollallohu alaihi wa sallam pernah berkata kepada Abu Dzar radhiyallohu anhu saat ia mencela seseorang : “ sungguh engkau seorang yang padamu ada jahiliyah “ ( HR. Bukhary 30, Muslim 4289 ) , sebagaimana beliau juga mensifati banyak perkara – yang disepakati Ahli sunnah akan ketidakkafirannya – sebagi perbuatan jahiliyah, di antaranya : mencela nasab , niyahah ( meratapi ) mayat… ( HR.Muslim 2157 ).
· Saya berkata : barangsiapa mengatakan adanya talaazum ( keterkaitan pasti ) antara nisbat kepada jahiliyah dengan kekufuran maka seharusnya mengkafirkan golongan yang Ahlu Sunnah bersepakat ketidakkafirannya ; mencerca muslim, mencela nasab dan meratapi mayat .
Berkata Abu Ubauid Al Qasim bin Sallam rahimahulloh : “ tidakkah kau dengan firman Alloh : ( أفحكم الجاهلية يبغون ) , tafsirnya menurut ahli tafsir : bahwa siapa yang memutuskan dengan selain yang Alloh turunkan dalam keadaan beragama islam, maka ia dengan hukum tersebut seperti ahli jahiliyah, sebab dahulu demukianlah ahli jahiliyah menghukumi, demikian juga sabda beliau : “ tiga hal dari perkara jahiliyah : mencela nasab, niyahah, dan mempercayai pengaruh bintang “ , tidak ada sisi atsar ini – termasuk dosa – bahwa pelakunya jahil ! atau kafir ! atau munafiq ! …tetapi maknanya : bahwa perbuatan ini jelas perbuatan orang kafir, diharamkan dan dilarang dalam Al Kitab dan As Sunnah “ ( Al Iman hal 90 ) .
Berkata Imam Bukhary rahimahulloh : Bab : Maksiat termasuk perkara jahiliyah, dan pelakunya tidak kafir dengan melakukannya , kecuali syirik, karena sabda Naby shollallohu alaihi wa sallam : “ sungguh engkau seorang yang padamu ada jahiliyah “ dan firman Alloh Ta’ala : ﴿ إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء ﴾ : Sesungguhnya Alloh tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa di bawahnya bagi siapa yang Ia kehendaki ( QS. An Nisa 48, 116 ) .. “ ( Shahih Bukhary sebelum hadits 30 ) .
Dalil kesebelas
Sebab turun firman Alloh :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.( QS. An Nisa : 60 )
Berkata As Sya’by rahimaulloh : dahulu terjadi perselisihan antara seorang dari munafikin dengan seorang dari Yahudi. Maka berkata Yahudi itu ; mari kita berhukum kepada Muhammad shollalohu alaihi wa sallam, karena ia tahu bahwa beliau tidak mau menerima sogokan. Munafik itu berkata : kita berhukum kepada Yahudi. Karena ia mengetahui bahwa mereka menerima risywah, lalu mereka sepakat mendatangi seorang dukun di Juhainah lalu berhukum padanya , maka turunlah ayat ini ( Al Wahidy dalam Asbab Nuzul hal 119 ) .
Maka jika dikatakan : sesungguhnya Alloh menghukumi orang tersebut sebagai munafiq karena berhukum kepada dukun .
Maka dijawab dari dua hal :
1. Hadits ini dho’if, karena As Sya;by rahimahulloh termasuk tabi’ien maka ini mursal .
2. Jika dianggap ini hadits shahih, maka ayat tersebut turun turun pada seorang munafik . Sedang adanya sifat munafik pada seorang muslim belum tentu dapat dihukumi dengan nifaq akbar, kecuali jika ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pensifatan nifaq ini adalah karena sifat ini ( berhukum kepada selain Alloh ) .
Dalil keduabelas
Sebab nuzul yang lain, yaitu ada dua orang yang bersengketa , maka seorang dari mereka beerkata : mari kita angkat perkara ini kepada Rasululloh shollallohu alaihi wa sallam, sedang yang lain berkata : kepada Ka’ab bin Asyraf, lalu keduanya datang kepada Umar, setelah salah seorang dari mereka menceritakan kisah tersebut maka Umar berkata kepada yang tidak ridha dengan hukum Rasululloh shollalohu alaihi wa sallam : apakah benar begitu ? ia menjawab : ya , maka Umar menebasnya dengan pedang dan membunuhnya …. ( Al Wahidy dalam Asbab Nuzul hal 119 ) .
Jawab : bahwa riwayat ini adalah dari jalan Al Kalby dari Abu Shalih Badzaam dari Ibnu Abbas , terdapat empat illat :
1. Muhammad bin Saib Al Kalby : matruk , riwayatnya ditinggalkan oleh Yahya bin Said dan Ibnu Mahdy rahimahumalloh , bbahkan Abu Hatim rahimahulloh berkata : “ manusia telah bersepakat untuk meninggalkan haditsnya “ ( lihat tahdzibul Kamal 6/318 – 319 / 5825 ) .
2. Baadzaam adalah dho’if , didhaifkan oleh Al Bukhary dan Ibnu Hajar rahimahumalloh . Bahkan berkata ibnu Ady rahimahulloh : “ saya tidak mengetahui seorang pun dari mutaqaddimien yang meridhainya “ ( lihat Mizaanul I’tidal 2/3/1123, taqrib tahdzib hal 163, Al Kamil 2/258/300 ).
3. Inqitha ( terputus sanad ) antara Badzaam dengan Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma ; berkata Ibnu Hibban rahimahulloh : “ ia membawakan riwayat dari ibnu abbas namun tidak didengar riwayat darinya “ ..( lihat tahdzibut Tahdzib 1/211 ).
4. Riwayat Al kalby dari Baadzaam tidak ada nilainya ; berkata Yahya Ibnu main rahimahulloh tentang Badzaam : “ jika meriwayatkan dari Al Kalby maka tidak ada nilainya “.. ( lihat tahdzibul Kamal 1/326/625 ).
Dalil ketiga belas
Sabab nuzul yang lain, yaitu ucapan Ibnu Abbas radhiyallohu anhu ; Dahulu Abu barzah Al Aslamy adalah seorang dukun yang menghakimi antar yahudi jika mereka berselisih, maka lalu datanglah sekelompok muslimin kepadanya ( untuk berhukum –pent ), maka alloh turunkan : ﴿ ألم تر إلى الذين يزعمون ﴾ … ( Al Wahidy dalam Asbabun Nuzul hal 118, Thabrany dalam Al Kabiir 12045 ).
Berkata Al Haitsamy rahimahulloh : “ rijalnya adalah rijal shahih “ .. ( Majma’ zawaid 7/6/10934 ).
Berkata Ibnu Hajar rahimahulloh : “ dengan sanad jayyid “ .. ( Al Ishabah 7/32, dalam biografi Abu Burdah Al Aslamy rodhiyallohu anhu ) .
Jika dikatakan : Alloh nisbatkan mereka kepada nifaq karena mereka berhukum kepada dukun.
Jawab : dari dua sisi :
1. Konteks ayat menunjukkan mereka memang munafikun, sedang ayat ibi menyebutkan salah satu sifat mereka, dan tidak ada dalil dalam ayat maupun sabab nuzul yang menunjukkan bahwa berhukumnya mereka itulah sebab mereka dihukumi nifaq. Maka barangsiapa yang melakukan perbuatan seperti itu maka dia menyerupai mereka, dan barangsiapa menyerupai munafikin dalam satu sifat maka tidak otomatis menjadi munafik nifaq akbar yang keluar dari agama.
2. Bahwa keinginan sekelompok orang ini adalah keinginan yang kufur, yaitu keinginan ( iradah 0 yang menafikan kufur kepada Thaghut, dan telah lalu hal ini ( hal 61 ).
Dalil keempatbelas
Berkata Ibnu Katsier ketika mengomentari atas sebagian hukum perkara yang ada dalam kitab Tatar ( = Ilyasa = Ilyasiq ) : “ dan ini semua menyelisihi syariat Alloh yang diturunkan kepada hambanya dari para nabi alaihumus sholatu wa salaam, maka barangsiapa meninggalkan syariat muhkam yang diturunkan atas muhammad bin Abdillah penutup para nabi dan berhukum kepada selainnya dari syariat yang telah dimansukh maka ia kafir. Maka bagaimana lagi seorang yang berhukum kepada Ilyasa dan mendahulukannya ? maka barangsiapa melakukan itu ia kafir dengan ijma kaum muslimin “ ( Al Bidayah Wan Nihayah 13/128, hawadits sanah 624 H ) .
Maka jika dikatakan : maka ini adalah ijma atas kekafiran orang yang meninggalkan syariat dan berhukum kepada selainnya.
Maka dijawab : bahwa ijma ini hanyalah pada seorang dari dua jenis :
1. Orang yang menghalalkan ( istihlal ) berhukum dengan selain apa yang Alloh turunkan
2. Orang yang mengutamakan hukum selain Alloh di atas hukum Alloh.
· Saya berkata : tidak ada perselisihan dalam kekafiran orang yang melakukan hal ini dengan istihlal ( hal 11 ) dan tafdhiel ( hal 18 ) .
Buktinya adalah : bahwa Ibnu Katsier rahimahulloh hanyalah menceritakan kekafiran Tatar dan yang melakukan seperti perbuatan mereka, dan keadaan yang ada pada mereka adalah mengkafirkan tanpa khilaf, ini dapat dijelaskan dari dua sisi :
Sisi pertama : mereka menghalalkan ( istihlal ) hukum selain yang Alloh turunkan.
Berkata Ibnu Taimiyah rahimahulloh : mereka menjadikan agama islam seperti agama yahudi dan nashrani, dan bahwa ini semua adalah jalan menuju Alloh seperti madzhab yang empat di kalangan muslimin, lalu di antara mereka ada yang merajihkan agama yahudi atau agama nasrani, dan di antara mereka ada yang merajihkan agama muslimin “ …( Al Fatawa 28/523 ).
Sisi kedua : mereka mengutamakan hukum selain Alloh di atas hukum Alloh .
Berkata Ibnu katsier rahimahulloh tentang kitab mereka – yang mengandung hukum-hukum yang ditetapkan Jenghis Khan – : “ ia adalah sebuah kitab yang mengumpulkan hukum-hukum yang dinukil dari berbagai syariat, antara lain : yahudi, nasrani dan islam. Dan di dalamnya banyak juga hukum yang diambil dengan sekedar pertimbangan dan keinginannya, sehingga menjadi syariat yang diikuti, mereka mendahulukannnya dari berhukum dengan Kitabulloh dan Sunnah Rasul-Nya shollallohu alaihi wa sallam, barangsiapa dari mereka melakukan itu maka ia kafir lagi wajib diperangi hingga kembali kepada hukum Alloh dan Rasul-Nya sampai tidak berhukum kepada selainnya baik sedikit atau banyak “ .. ( Tafsir 2/88, Al Maidah 50 ) .
· Saya berkata : barangsiapa memperhatikan ini dan berpendapat dengannya, maka akan berkesesuaian padanya antara ucapan Ibnu Katsier rahimahulloh dengan ucapan para imam Sunnah dalam menukilkan Ijma yang ditetapkan untuk pelaku istihlal dan tafdhiel.
Kemudian, jika meninggalkan syariat dan berhukum padanya tanpa istihlal dan tafdhiel ada ijma – seperti yang dikatakan sebagian orang – , tentu engkau akan melihat para ulama saling menukilkannya dan menetapkannya baik ulama yang sezaman Ibnu Katsier atau sebelumnya, atau bahkan yang datang setelahnya. Bagaimana bisa demikian, bukankah justru mereka menukilkan ijma pada yang berkebalikan ? yaitu : ijma atas ketidakkafiran Ja’ir ( pemimpin dzalim ), dan telah lalu bahasan ini ( hal. 21 ) .
Fatwa terakhir Ibnu Utsaimin rahimahulloh dalam masalah berhukum dengan selain hukum yang Alloh turunkan
Yang disebut : “ At Tahrir Fy Mas’alatit Takfier “
Soal[3] : Segala puji bagi Alloh dan shalawat serta salam bagi Rasululloh , saya bersaksi tiada tuhan yang benar selain Alloh Yang Esa dan tiada sekutu baginya , dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, adapun setelah itu : maka pertanyaan ini saya sampaikan via telepon, dan direkam pula jawaban Fadhilatul Walid Syaikh Al Allamah Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hafizhohulloh , semoga beliau dan semisalnya menjadi pengganti Samahatil Walid ( Ibnu Baz ) rahimahulloh .
Dan pertanyaan ini berkaitan seputar masalah yang banyak diperselisihkan di antara tholabatul Ilmy, dan banyak -pula – pendalilan dengan ucapan Fadhilatul Walid Al Allamah Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hafizhahulloh Ta’ala, pertama saya sampaikan kepada Syaikh : Assalam alaikum warahmatullohi wa barokatuh, semoga Alloh menambah kepada Anda keilmuan dan mengangkat derajat Anda di dunia dan akhirat.
Fadhilatus Syaikh sallamakumulloh : di sini banyak pelajar selalu mendengungkan masalah pemerintah yang menerapkan syariat yang menyelisihi syariat Alloh Azza Wa Jalla, dan tentu tak diragukan,. Tentunya juga ia memerintah dan mewajibkannya atas rakyat, dan dijatuhkan sanksi atas orang yang melanggar, diberikan insentif bagi yang mentaati, dan syariat / aturan ini jika dilihat dalam Kitabulloh dan Sunnah Rasululloh Shollallohu alaihi Wa sallam adalah menyelisihi dan bertabrakan terhadap nash kitab dan sunnah. Syariat / aturan ini jika diwajibkan oleh pemerintah atas rakyat namun ia masih mengakui bahwa hukum Alloh itulah yang benar sedang yang lainnya adalah bathil dan bahwa yang benar adalah yang datang dalam Kitab dan Sunnah, tetapi karena syubhat atau syahwat maka terjadilah penerapan aturan ini, seperti telah banyak terjadi hali ini pada Bani Umayyah dan Bani Abbas dan pada pemerintah dzalim yang mewajibkan manusia dengan perkara yang tentunya tidak tersembunyi atas seorang semisal Anda, bahkan banyak manusia telah mengetahui bagaimana merekka mewajibkan manusia dengan perkara yang tidak diridhai Alloh Azza Wa Jalla seperti dalam perkara waris dan mereka menjadikan pemimpin otoriter sebagaimana dikhabarkan Naby shollallohu alaihi wa sallam dan mereka mendekati orang-orang jahat, menjauhkan orang-orang baik, siapa saja yang mencocoki kebatilan mereka maka mereka dekatkan sedang yang beramar ma’ruf dan anhi munkar maka bisa jadi merka perangi….dst.
Apabila pemerintah di zaman ini menerapkan syariat / aturan seperti ini ; apakah ia menjadi kafir dengan sebab syariat ini apabila diwajibkan kepada seluruh rakyat ? dalam keadaan ia masih mengakui bahwa hal itu menyelisihi Kitab dan Sunnah, dan bahwa yang benar adalah apa yang ada dalam Kitab dan Sunnah, apakah dengan sekedar perbuatannya saja orang ini menjadi kafir ? ataukah harus melihat kepada akidah / keyakinan ( yang diucapkan-pent ) nya dalam masalah ini ? seperti – misalnya – orang yang mewajibkan riba, membuka bank-banj riba di negaranya, mengambil pinjaman dari bank dunia , dan berusaha menata ekonomi negaranya seperti itu, jika Anda tanya, ia akan berkata : “ riba haram, tidak boleh “, tetapi karena krisis ekonomi, atau selainnya, ia membuat alasan –alasan semisal ini, terkadang alasan yang bisa diterima terkadang tidak. Apakah ia menjadi kafir dengan perbuatan itu ? atau tidak ?
Dengan mengaitkan bahwa banyak para pemuda menukilkan dari Anda bahwa Anda mengatakan bahwa yang ,melakukan itu maka ia kafir, sedang kami melihat di negara seluruh dunia bahwa perkara ini ada, banyak maupun sedikit, terang-terangan maupun tidak, nas’alullohal afwa wal aafiyah. Kami harap Anda Fadhilatikum menjawab pertanyaan ini, semoga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala memberi manfaat bagi para pelajar, dan bermanfaat pula bagi para da’i di jalan Alloh Azza Wa Jalla ; karena tentunya Anda mengetahui bahwa perselisihan masalah ini telah banyak berpengaruh pada barisan dakwah ilalloh.
Demikian, dan saya ingin pula menyampaikan kepada Anda tentang kecintaan para anak murid Anda para pelajar syar’iy di negeri ini, dan bahwa mereka sangat menyukai mendengar suara Anda serta pelajaran dan nasihat dari Anda, melalui telpon atau selainnya. Semoga Alloh Ta’ala menerima kebaikan amal kita semua.
Pertanyaan ini disampaikan oleh murid Anda Abul Hasan Musthofa bin Ismail As Sulaimany dari Ma’rib Yaman pada tanggal 22 Rabiul Awal 1420 H, Wassalam alaikum wa rahmatullohi wa barokatuh.
Al jawab :
[ Mukaddimah ]
Segala puji bagi Alloh Rabbul alamin, semoga salam dan shalawat terlimpah atas nabi kita Muhammad dan atas keluarga serta shahabat dan seluruh yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Adapun setelah itu :
[ tanggal fatwa ]
Maka pada hari ini , hari selasa bulan Rabie’ Al Awwal tahun 1420, saya telah menyimak kaset yang tertulis dari Saudara kami Abul Hasan di Ma;rib, ia memulai dengan salam , maka saya jawab : wa alaikum salam wa rahmatullohi wa barokatuh.
[ bahaya takfir ]
Adapun yang disebut tentang takfir, maka ini adalah masalah yang besar , agung, tidak boleh menetapkan dalam masalah ini kecuali thalibul ilmi yang memahami dan mengetahui kalimat dan maknanya, mengerti akibat yang berkaitan dengan vonis kafir atau tidak. Adapun keumuman manusia, maka menetapkan takfir atau tidak dalam perkara seperti ini akan menimbulkan banyak mafsadah.
[ nasihat berharga ]
Dan yang saya lihat pertama kali ( untuk dinasihatkan-pent ) adalah agar para pemuda tidak menyibukkan diri dengan masalah ini, apakah pemerintah itu kafir atau tidak ? apakah boleh memberontak atau tidak ?.. kewajiban mereka para pemuda adalah untuk memperhatikan ibadah yang Alloh wajibkan atas mereka, atau sunnah, dan agar mereka meninggalkan apa yang Alloh larang baik haram ataupun makruh. Dan agar mereka semangat untuk menyatukan hati diantara mereka, dan untuk bersatu, dan agar mereka mengetahui bahwa ikhtilaf dalam masalah agama dan ilmu telah terjadi sejak zaman shahabat radhiyallohu anhum tetapi tidak menimbulkan perpecahan, hatri mereka satu, dan manhaj mereka satu .
[ rincian masalah ]
Adapun yang berkaitan dengan berhukum dengan selain yang Alloh turunkan, maka hal itu seperti yang ada dalam Kitabulloh Al Aziz, terbagi kepada tiga bagian, kufur, dzalim dan fasiq ; sesuai sebab-sebab yang dibangun hukum ini di atasnya.
Jika seorang memutuskan dengan hukum selain yang Alloh turnkan karena mengikuti hawa nafsu bersama masih mengetahui bahwa yang benar adalah yang Alloh putuskan, maka ini tidak kafir tetapi antara fasiq dan dzalim.
Adapun jika ia menetapkan hukum umum yang diterapkan bagi semua orang, ia melihat hal itu termasuk maslahat, dan ia tersamar syubhat ; maka tidak kafir juga ; karena banyak dari pemerintah yang masih bodoh dalam ilmu syariat / agama, dan berhubungan dengan orang-orang yang tidak mengenal hukum syar’iy, sedang mereka menganggapnya sebagi ulama besar maka terjadilah penyelisihan .
Dan jika dia mengetahui syariat tetapi memutuskan hukum itu, atau menyusun hukum itu dan menjadikannya sebagai undang-undang yang dijalani seluruh rakyat, ia meyakini dirinya dzalim dengan perbuatan ini, dan bahwa yang benar adalah yang ada dalam Kitab dan Sunnah, maka kita tidak bisa mengkafirkan orang ini .
Yang kita kafirkan hanyalah : yang memandang bahwa hukum selain Alloh lebih utama jika diikuti manusia, atau sama seperti hukum Alloh Azza Wa Jalla, maka orang ini kafir, karena dia mukadzib ( mendustakan ), karena Alloh Tabaraka Wa Ta’ala berfirman :
﴿ أليس الله بأحكم الحاكمين ﴾ [ التين ٨ ]
Artinya : bukankah Alloh adalah hakim yang paling adil ? ( QS. Tien 8 )
Dan firman Alloh :
﴿ أفحكم الجاهلية يبغون ومن أحسن من الله حكماً لقوم يوقنون ﴾ [ المائدة ٥۰ ]
Artinya ; apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki ? siapakah yang lebih baih hukumnya dari Alloh bagi kaum yang yakin ( QS. Al Maidah 50 ).
[ tidak ada kaitan langsung antara takfir dengan memberontak ]
Kemudian, dalam masalah-masalah ini ; tidak berarti jika kita telah mengkafirkan seseorang maka wajib kita memberontak , karena pemberontakan akan menimbulkan banyak mafsadah yang besar yang lebih besar daripada diam, dan kita saat ini tidak bisa memberikan contoh dari apa yang telah terjadi dalam hal ini pada bangsa arab maupun selain arab.
[ diantara syarat memberontak atas penguasa kafir ]
Dan hanya saja , jika kita benar-benar telah menyimpulkan bolehnya memberontak secara syariat, maka kita harus telah memiliki persiapan dan kekuatan sama seperti kekuatan penguasa atau lebih besar lagi .
[ memberontak tanpa ada kemampuan adalah kebodohan ]
Adapun jika rakyat memberontak dengan modal pisau dapur dan bambu runcing, sedangkan mereka memilki tank dan roket bom dan lainnya ; maka ini adalah kebodohan tanpa diragukan lagi dan menyelisihi syariat “ fatwa selesai.
Penutup kitab
Saya memohon kepada Alloh agar memberi hidayah kepada seluruh pemerintah, dan taufiq agar mereka berhukum dengan Kitabulloh dan Sunnah Nabi shollallohu alaihi wa sallam, dan agar mereka semua bersatu di atas kebenaran, dan menjadikan mereka sebagai pembela dan pelayan islam dan muslimin.
Sebagaimana saya memohon kepada Alloh Ta’ala agar memberi hidayah kepada yang tersesat dari kaum muslimin, dan menyatukan hati-hati mereka, dan menjadikan kami dan mereka dapat melihat dengan jelas kebenaran sebagi kebenaran dan menjadikan kita semua mempu mengikutinya serta jelas bagi kita batil sebagi batil serta menjadikan kita mampu meninggalkannya.
Wal hamdu lillah dauman wa abadan, dhahiran wa bathinan, wa shollallohu ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam . Wassalam alaikum wa rahmatullohi wa barokatuh.
Akhukum / Bandar bin Nayif Al Mihyani al Utaiby
27/1/1427 H
Penerjemah : Ustadz Abdul Hakim Lc
—————
[1] . berkata Ibnu Taimiyah tentang tafsir tabiien rahimahumulloh : “ jika mereka berijma atas sesuatu maka tidak diragukan bahwa itu adalah hujjah, adapun jika mereka berikhtilaf maka ucapan sebagian mereka tidak menjadi hujjah atas ucapan yang lain, tidak pula atas orang yang setelah mereka, maka harus dikembalikan kepada bahasa Al Quran atau Sunnah atau keumuman bahasa arab atau ucapan para shahabat dalam hal itu “ ( Al Fatawa 13/370 ).
Beliau juga berkata rahimahulloh : “ siapa saja yang menyeleweng dari pendapat shahabat dan tabiien dan tafsir mereka kepada yang menyelisihi itu, maka dia salah dalam hal itu, bahkan mubtadie’, adapun jika ia mujtahid maka ia diampuni kesalahannya “ ( Al Fatawa : 13/361 ).
[2] . demikian ! bisa jadi ungkapan ini terbalik , dan yang benar : “ keyakinan dan iman mereka tentang keharaman yang haram dan kehalalan yang halal tetap / tidak berubah “ .
[3] . saya mengambil fatwa ini dari kaset : “ Attahrir fy Mas’alatit Takfier “, diproduksi oleh Tasjilat Ibnul Qayyim Kuwait, dan saya pisahkan antar paragrafnya dengan menambah judul di antara tanda kurung [ ] .